Pengertian Konflik
Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah
percekcokkan, perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja
bahasa latin yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis
konflik diartikan sebagai proses social antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Jika dilihat definisi secara sosiologis, konflik senantiasa
ada dalam kehidupan masyarakat sehingga konflik tidak dapat dihilangkan tetapi
hanya dapat diminimalkan.
Beberapa Faktor Penyebab Konflik
Perbedaan individu yang didasari oleh perbedaan pendirian dan perbedaan
perasaan. Setiap manusia memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda,
sehingga dalam menilai sesuatu tentu memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Misalnya masyarakat menilai kebijakan pemerintah mengenai menaikkan harga BBM
karena harga bahan mentah naik. Tentu setiap masyarakat akan menilai dengan
pemikirannya masing-masing yang mungkin secara umum terbagi menjadi kelompok
yang pro dan kontra.
Perbedaan kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda
Orang dari kebudayaan berbeda, misalnya orang jawa dengan
orang papua yang memiliki budaya berbeda, jelas akan membedakan pola pikir dan
kepribadian yang berbeda pula. Jika hal ini tak ada suatu hal yang dapat
mempersatukan, akan berakibat timbulnya konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
Manusia merupakan mahkluk yang unik karena satu dengan yang
lain relative berbeda. Berbeda pendirian, pemikiran, perilaku, kebiasaan, dsb.
Dari perbedaan itu tentu timbul perbedaan kepentingan yang latar belakangnya
juga berbeda. Misalnya mengenai masalah pemanfaatan hutan. Para pecinta alam
menganggap hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup manusia dan habitat dari
flora dan fauna. Sedangkan bagi para petani hutan dapat menghambat
tumbuhnya jumlah areal persawahan atau perkebunan. Bagi para pengusaha
kayu tentu ini menjadi komoditas yang menguntungkan. Dari kasus ini ada pihak –
pihak yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan, sehingga dapat
berakibat timbulnya konflik.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat
Perubahan merupakan suatu hal yang wajar didalam kehidupan
bermasyarakat. Tetapi perubahan yang sangat cepat akan memicu timbulnya
konflik. Misalnya masyarakat pedesaan yang secara umum matapencariannya bertani
yang hidupnya bergotong-royong dengan jadwal waktu yang relative tidak
mengikat, kemudian tumbuh suatu industry dengan waktu yang relative cepat
dengan kebiasaan cenderung individualis, disiplin kerja dan waktu kerja
ditentukan, yang secara umum mengubah nilai-nilai masyarakat desa tadi,
tentu akan menimbulkan konflik berupa penolakan diadakannya industry di
wilayah itu.
Akibat-akibat dari konflik.
Konflik dapat baik dan tidak baik. Konflik berakibat tidak
baik seperti :
1.
Menghambat komunikasi, karena pihak-pihak yang berkonflik
cenderung tidak berkomunikasi.
2. Menghambat
keeratan hubungan.
3. Karena
komunikasi relative tidak ada, maka akan mengancam hubungan pihak-pihak yang
berkonflik.
4. Mengganggu kerja
sama.
5. Hubungan yang
tidak terjalin baik, bagaimana mungkin terjadi kerjasama yang baik.
6. Mengganggu
proses produksi,bahkan menurunkan produksi.
7. Kerja sama yang
kurang baik, maka produktifitas pun rendah.
8. Menimbulkan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
9. Karena
produktifitas rendah, timbullah ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
10. Yang kemudian
berakibat pada individu mengalami tekanan, mengganggu konsentrasi, menimbulkan
kecemasan, mangkir, menarik diri, frustasi dan apatisme.
Konflik berakibat baik seperti:
1.
Membuat suatu organisasi hidup, bila pihak-pihak yang
berkonflik memiliki kesepakatan untuk mencari jalan keluarnya.
2. Berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan merupakan salah satu akibat dari konflik,
yang tujuannya tentu meminimalkan konflik yang akan terjadi dikemudian hari.
3. Melakukan
adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan dalam system serta
prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
4. Memunculkan
keputusan-keputusan yang inovatif.
5. Memunculkan
persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
Sedangkan menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel
jenis-jenis konflik terbagi atas :
1.
Konflik intrapersonal.
o Konflik
intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik ini
terjadi pada saat yang bersamaan memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus.
2. Konflik
interpersonal.
o Konflik ini
adalah konflik seseorang dengan orang lainnya karena memiliki perbedaan
keinginan dan tujuan.
o Konflik antar
individu-individu dan kelompok-kelompok, Hal ini sering kali berhubungan dengan
cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas yang
ditekankan pada kelompok kerja mereka . Sebagai contoh seorang individu dapat
dikenai hukuman karena tidak memenuhi norma-norma yang ada.Konflik
interorganisasi.
3. Konflik antar
grup dalam suatu organisasi adalah suatu yang biasa terjadi, yang tentu
menimbulkan kesulitan dalam koordinasi dan integrasi dalam kegiatan yang
menyangkut tugas-tugas dan pekerjaan. Karena hal ini tak selalu bisa dihindari
maka perlu adanya pengaturan agar kolaborasi tetap terjaga dan menghindari
disfungsional.
Cara-Cara Mengatasi Konflik
Mengatasi konflik antara pihak-pihak yang bertikai tergantung
pada kemauan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah. Selain
itu juga peran aktif dari pihak luar yang menginginkan redanya konflik. Berikut
adalah cara-cara untuk mengatasi konflik yang telah terjadi :
1.
Rujuk
o merupakan usaha
pendekatan demi terjalinnya hubungan kerjasama yang lebih baik demi kepentingan
bersama pula.
2. Persuasi
o mengubah posisi
pihak lain, dengan menunjukan kerugian yang mungkin timbul, dan bukti factual
serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan
norma dan standar keadilan yang berlaku.
3. Tawar-menawar
o Suatu
penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan mempertukarkan
kesepakatan yang dapat diterima.
4. Pemecahan
masalah terpadu
o Usaha pemecahan
masalah dengan memadukan kebutuhan kedua belah pihak. Proses pertukaran
informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur.
Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternative pemecahan secara
bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
5. Penarikan diri
o Cara
menyelesaikan masalah dengan cara salah satu pihak yang bertikai menarik diri
dari hubungan dengan pihak lawan konflik. Penyelesaian ini sangat efisien bila
pihak-pihak yang bertikai tidak ada hubungan. Bila pihak-pihak yang bertikai
saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain, tentu cara ini tidak dapat
dilakukan untuk menyelesaikan konflik.
6. Pemaksaan dan
penekanan
o Cara
menyelesaikan konflik dengan cara memaksa pihak lain untuk menyerah. Cara ini
dapat dilakukan apabila pihak yang berkonflik memiliki wewenang yang
lebih tinggi dari pihak lainnya. Tetapi bila tidak begitu cara-cara seperti
intimidasi, ancaman, dsb yang akan dilakukan dan tentu pihak yang lain akan
mengalah secara terpaksa.
Berikut contoh kasus konflik yang pernah terjadi :
1.
Konflik Vietnam berubah menjadi Perang
2. Konflik Timur
Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga
timbulkekerasan. Hal ini dapat dilihat dalam
konflik Israel dan Palestina
3. Konflik
Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik
bersejarah lainnya.
4. Banyak konflik
yang terjadi karena perbedaan ras da etnis. Ini termasuk konflik
Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik
di Rwanda dan Kazakhstan.
Strategi
penyelesaian Konflik
1. Menghindar
menghindari konfik dapat dilakukan jika isu atau masalah yg
memicu konflik tidak terlalu pentin atau jika potensi
konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang ditimbulkannya.
2. Mengakomodasi
memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur stratei
pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut
penting bagi orang lain.
3. Kompetisi
gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih
banyak informasi dan keahlian yang lebih
dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai
anda.
4. Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang
bersamaan, saling memberi
dan menerima, mserta meminimalkan kekurangan semua pihak yang
dapat menguntungkan semua pihak.
5. Memecahkan masalah
pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat
mempunyai tujuan kerja yang sama.
Motivasi
Motivasi adalah proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk
mencapai tujuannya.[1] Tiga elemen
utama dalam definisi ini diantaranya adalah intensitas, arah, dan ketekunan.
Berdasarkan teori
hierarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori
motivasi kontemporer, arti motivasi adalah alasan yang
mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang
dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki
alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan
mengerjakan pekerjaannya yang sekarang. Berbeda dengan motivasi dalam
pengertian yang berkembang di masyarakat yang seringkali disamakan dengan semangat,
seperti contoh dalam percakapan "saya ingin anak saya memiliki motivasi
yang tinggi". Statemen ini bisa diartikan orang tua tersebut menginginkan
anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka, perlu dipahami bahwa ada
perbedaan penggunaan istilah motivasi di masyarakat. Ada yang mengartikan
motivasi sebagai sebuah alasan, dan ada juga yang mengartikan motivasi sama
dengan semangat.
Dalam hubungan antara
motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa giat seseorang
berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang
memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang
menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan,
merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori
Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar
pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan,
yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar,
haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam
arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem
needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan
bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan)
kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan
menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula
dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi
kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas
kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak
hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual
dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur
manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin
dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau
“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang
dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan.
Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu
tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia,
berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam
hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan
papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang
merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai
kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan
hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan
bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan.
Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan
ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin
berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai
kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki.
Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
·
Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan
timbul lagi di waktu yang akan datang;
·
Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik,
bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam
pemuasannya.
·
Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh”
dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat
sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih
bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan
teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih
bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan
Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai
prestasi atau Need for Acievement(N.Ach) yang menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan
prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan
prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan
yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik,
manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan
seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala,
mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu
menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui
penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high
achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk
mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai
situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka
sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan
(3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka,
dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori
Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan
pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama,
secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan
oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan
hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan
hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori
Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa :
·
Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar
pula keinginan untuk memuaskannya;
·
Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin
besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
·
Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya
lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih
mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh
manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat
menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain
memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman
motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model
Dua Faktor” dari motivasi, yaitufaktor motivasional dan faktor
hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang
mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam
diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan
adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar
diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah
pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah
memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam
kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat
ekstrinsik
5. Teori Keadilan
Inti teori ini
terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan
antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang
diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan
yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
·
Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
·
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat
hal sebagai pembanding, yaitu :
·
Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima
berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat
pekerjaan dan pengalamannya;
·
Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang
kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan
sendiri;
·
Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di
kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
·
Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan
jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para
pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai
persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila
sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi,
seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya
kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan
dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan
pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory) Edwin Locke
mengemukakan
bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni
: (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya;
(c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang
strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan
tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan
) Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And
Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori
Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin
dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan
mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat
menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang
bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika
seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup
besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya
itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori
harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya
bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang
diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan
keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan
bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya,
apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi
Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan
sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang
berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif.
Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak
seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku
dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang
menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai
konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang
mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan
tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian
dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat.
Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu
terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan
berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan
komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya
diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali
mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi
perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu
diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi
pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan
Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang
sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para
ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang
terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi
satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model
tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan
prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor
internal adalah :
(a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri;
(b) harga diri;
(c) harapan pribadi;
(d) kebutuhaan;
(e) keinginan;
(f) kepuasan kerja;
(g)
prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
(a) jenis dan sifat pekerjaan;
(b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung;
(c) organisasi tempat bekerja;
(d) situasi lingkungan pada umumnya;
(e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Sumber
:
http://wiki.co.id dan http://worpress.com
http://falfakhri.blogspot.nl/2012/02/teori-motivasi-menurut-para-ahli.html